HERUDINPenyanyi
dangdut yang juga dai, Rhoma Irama menangis saat menggelar konferensi
pers bersama Ketua Panwaslu DKI Jakarta, di kantor Panwaslu Jakarta
Pusat, Senin (6/8/2012). Rhoma Irama diperiksa oleh Panwaslu terkait
dugaan SARA terhadap pasangan Jokowi-Ahok saat ceramah di salah satu
masjid. TRIBUNNEWS/HERUDIN
"Saya rasa Rhoma Irama itu sebuah fenomena. Bahkan, fenomena itu sendiri. Rhoma itu sedikit dari penyanyi besar yang bisa membangun penggemar dan pemujanya sendiri menjadi sebuah komunitas," ujar Hajriyanto, Rabu (14/11/2012), di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Komunitas pemuja Rhoma Irama itu, kata Hajriyanto, berpeluang besar menjadi konstituennya. Oleh karena itu, masyarakat dan juga partai politik harus menghormati kesiapan serta keberanian Rhoma Irama untuk menjadi capres. Di era demokrasi ini, lanjut Hajriyanto, partai politik harus membiasakan diri untuk bersikap positif terhadap kemunculan seseorang tokoh sebagai calon presiden, siapa pun dia dan apa pun latar belakang profesinya.
"Kita tidak boleh memandang enteng seseorang yang menyatakan keinginan dan keterpanggilannya menjadi capres," ujar politisi Partai Golkar ini.
Lebih lanjut, Hajriyanto berpandangan sikap parpol yang meremehkan pencalonan Rhoma ini muncul karena perasaan sombong seakan-akan hanya mereka yang paling pantas dan berhak diusung menjadi capres. Padahal, konstitusi Indonesia menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak memilih dan dipilih.
"Maka jadi capres itu hak konstitusional setiap warga negara. Pengalaman demokrasi deliberatif di berbagai negara membuktikan cukup banyak artis film dan penyanyi terpilih menjadi presiden dan sukses menjalankan pemerintahan," ucapnya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !